Berita Terbaru

Jumat, 31 Desember 2021

Kado Tahun Baru 2022, Naiknya Harga BBM, LPG dan Listrik





Oleh : Dr. Noviardi Ferzi *


" Harga sebenarnya dari sesuatu jerih payah dan kesulitan untuk memperolehnya " (Adam Smith)


Jelang tahun baru 2022 pemerintah melalui PT. Pertamina (Persero) secara resmi menaikan harga liquefied petroleum gas (LPG) atau elpiji non subsidi. Sekarang harga jual elpiji 12 kg dan 5 kg ini berkisar antara Rp 1.600 - Rp 2.600 per kg. Tentu saja kenaikan ini menjadi kado tak menyenangkan di tahun baru 2022.


Pemerintah (baca, Pertamina) berdalih kenaikan ini untuk merespon tren peningkatan harga Contract Price Aramco (CPA) LPG yang terus meningkat sepanjang tahun 2021.


Di mana menurut Pertamina harga kontrak penyediaan elpiji dengan perusahaan Arab Saudi terus meningkat, di November 2021 mencapai 847 USD/metrik ton, harga tertinggi sejak tahun 2014 atau meningkat 57% sejak Januari 2021.


Harga liquefied petroleum gas (LPG) yang naik membuat pemerintah dalam posisi yang penuh dilema, pada satu sisi membuat pemerintah menanggung selisih harga penjualan semakin besar, dan ini beban. Di lain sisi lain pilihan untuk meningkatkan harga jual LPG tentu akan berdampak luas.


Lalu dengan alasan subsidi tak jebol, pemerintah memutuskan menaikan harga elpiji non subsidi untuk ditanggung rakyat. Anehnya, kelompok elpiji non subsidi ini hanya sekitar 7,8 persen dari konsumen, jika untuk alasan subsidi tidak jebol, kenapa kenaikan tidak dilakukan untuk elpiji subsidi 3 kilogram secara ringan pada kisaran harga 1000 - 2000 rupiah, meski kecil penghematan subsidi akan terasa karena konsumsi nasional mencapai 92,5 persen.


Gas elpiji merupakan komoditas strategis, memiliki keterkaitan dengan hampir semua sendi ekonomi masyarakat. Akibatnya akan berdampak pada produk olahan pangan (kuliner) dan sektor industri. Kenaikan harga ini membuat masyarakat dengan segala cara beralih ke gas Elpiji 3 kg atau gas melon. Pergeseran tersebut dikarenakan kenaikan harga elpiji menggerus daya beli masyarakat. Jika tidak di awasi dengan baik, akan terjadi menumbuh suburkan praktek pengoplosan elpiji. Apalagi masyarakat dalam kondisi masih terpukul pandemi sehingga cenderung mencari harga yang lebih murah, peluang yang dari dulu dimanfaatkan oleh para pengoplos.


Di aspek lain, perbedaan harga elpiji 3 kg bersubsidi dan elpiji 12 kg non subsidi pasca kenaikan, akan menjadi penyebab utama pengoplosan. Memanfaatkan celah distribusi dan pengawasan yang dilakukan Pertamina, para pengoplos selalu mencari celah untuk melakukan pengoplosan. Disparitas harga itulah yang memicu masyarakat untuk mengoplos, karena keuntungan yang didapat memang besar.


Perlu ada langkah antisipasi dari Pertamina maupun Kementerian ESDM dalam merespons kebijakan yang dikeluarkan. Di samping itu tentu saja perlu kontrol agar shifting dapat diminimalisir karena mengakibatkan ketaktepatan sasaran penggunaan gas elpiji bersubsidi.


Semestinya ketika Pertamina menaikkan harga elpiji 12 Kg seharusnya terlebih dulu memastikan pendapatan dan daya beli masyarakat meningkat. Karena kelompok bawah nilai tukar mereka masih rendah. Sebagai contoh nilai tukar petani tidak naik naik. Kalau mau melakukan kenaikan harga energi, daya beli dan pangan harus dijaga, agar tidak ada inflasi.


Agenda kenaikan energi yang beruntun


Ironisnya, bukan hanya elpiji yang mengalami kenaikan harga, tapi juga energi lain di tahun depan. Sudah ada beberapa agenda tahun depan terkait peningkatan harga energi, seperti peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan wacana penghapusan BBM di bawah RON 92 yaitu Premium dan Pertalite.


Selanjutnya, rencana kenaikan listrik golongan pelanggan non-subsidi di tahun depan. Dengan skema tarif penyesuaian, maka kenaikan tarif listrik di tahun depan diperkirakan naik dari Rp 18.000 hingga Rp 101.000 per bulan sesuai dengan golongannya.


Peningkatan harga energi ini tentu akan melecut inflasi di tahun 2022 ke kisaran 5 persen yoy, atau lebih tinggi dari kisaran sasaran Bank Indonesia (BI) yang sebesar 3 persen plus minus 1 persen.


Belum lagi, akan ada risiko peningkatan harga kebutuhan pokok, seperti pangan yang dipengaruhi oleh pasokan pangan karena adanya La Nina dan peningkatan permintaan menjelang Ramadan 2022.


Dampak ini belum termasuk ada risiko terkait dengan imported inflation, seiring dengan gonjang-ganjing nilai tukar rupiah karena normalisasi kebijakan moneter bank-bank sentral dunia.

Imbas peningkatan inflasi ini kemudian dirasakan oleh rumah tangga, terutama kelompok menengah bawah. Terjadi kecenderungan rumah tangga kemudian mengurangi pengeluaran sekundernya, sebagai dampak dari kenaikan harga energi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.


Mengurangi pengeluaran sekunder berarti mengorbankan kesejahteraan, mendorong masyarakat dekat pada kemiskinan. Ini sebuah realitas ekonomi yang getir, terlebih kegetiran itu dimulai dengan ucapan Selamat Tahun Baru 2022 ditengah kenaikan harga energi BBM, LPG dan Listrik.



* Pengamat

Endemi dan Recovery, Dua Titik Harapan Tahun 2022



Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*


" Harapan akan selalu hadir untuk mereka yang mempercayai perubahan "


Hari ini Jumat, 31 Desember 2021, satu hari tersisa di ujung tahun, satu hari yang memberi kesempatan opini ini ditulis, tentang harapan endemi dan recovery. Sebuah tulisan jelang tahun berakhir.


Sebelum 2021 tutup buku, berbagai kalangan telah mempersiapkan rencana tahun depan dengan berbagai agenda, baik itu yang sipatnya strategis maupun yang lebih taktis dalam level operasional. Berbagai rencana ini menunjukan bahwa hidup selalu ada harapan untuk ditunggu, harapan di tahun 2022.


Pemerintah sendiri menuai harapan itu dengan menjaga fleksibilitas APBN untuk melanjutkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2022, mengantisipasi kemungkinan perluasan dampak pandemi di tahun depan. 


Kata Fleksibel merujuk akan perubahan situasi, artinya jika kondisi pandemi memburuk program dan anggaran yang telah disepakati bisa berubah, dialihkan atau bahkan dihilangkan. Artinya tetap ada skenario refocusing anggaran seperti dua tahun sebelumnya.


Di tahun 2022, pemerintah tetap fokus pada strategi percepatan percepatan pemulihan ekonomi. Kucuran insentif fiskal bagi percepatan pemulihan perekonomian Indonesia akan tetap dilakukan. Konsistensi kebijakan fiskal di masa pandemi memang diperlukan, yang mana krisis ini akan menjadi momentum untuk melanjutkan reformasi struktural, reformasi fiskal, dan reformasi sektor keuangan. Berbenah secara radikal sistem ekonomi yang adaktif dengan skenario endemi.


Harapan Pertama Endemi


Terkait dengan pandemi dan alokasi APBN  harapan pertama pemerintah, yaitu pendemi menjadi endemi. Di Indonesia, pandemi ini diperkirakan bisa berubah menjadi endemi pada 2022 ketika kasus Covid-19 telah lebih terkendali.


Lalu, apakah endemi itu? Endemi adalah sebuah kondisi di mana kasus penyakit menular lebih terkendali. Artinya, jumlah kasus Corona bisa terkendali dengan baik, dibandingkan dengan situasi pandemi. Endemi dapat digambarkan sebagai sebuah situasi di mana kondisi kasus lebih terkendali.


Faktor yang membuat pandemi bertransisi menjadi endemi adalah kekebalan masyarakat atau herd immunity meningkat. Hal ini bisa terjadi dengan akselerasi vaksinasi maupun infeksi alamiah.


Tentu saja demi mencapai kondisi itu, diperlukan instrumen pengendalian agar pandemi bisa terkendali. Misalnya, dengan PPKM yang tengah dijalankan saat ini.
Dengan instrumen pengendalian PPKM berupa pengaturan dan target spesifik, baik 3M, 3T, dan vaksinasi di tingkat kabupaten/kota, diharapkan kondisi tersebut segera tercapai dengan syarat kolaborasi pemerintah dan masyarakat harus bisa menyukseskan kebijakan yang telah ada, agar efektif dan signifikan hasilnya.


Untuk hal ini sebagian kalangan berkeyakinan bahwa Indonesia telah keluar dari pandemi Covid-19 dan memasuki fase endemi, salah satunya Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono, menurutnya penularan masih ada cuma karena jumlah kasusnya yang sedikit, penularan itu tidak membebani pelayanan kesehatan. Artinya, fase endemi adalah fase di mana kasus bisa ditekan dan angka yang masuk ke rumah sakit sangat rendah, dengan tingkat kematian nol. Endemi inilah harapan pertama kita di tahun 2022, harapan pemerintah dan kita semua.


Harapan Kedua, Recovery


Pandemi Covid 19 telah memasuki usia dua tahun. Hampir semua sektor kehidupan terdampak. Sektor ekonomi menjadi sektor yang mengalami goncangan hebat selama pandemi. Meningkatnya PHK, angka pengangguran, penurunan volume dagang dan produksi membuat ekonomi terperosok ke jurang resesi yang dalam. Namun, fase Endemi melahirkan harapan baru untuk ekonomi bisa Recovery, pemulihan ekonomi yang juga menjadi harapan di 2022.


Mengutip Economist Bank DBS, terdapat lima fase dalam recovery tersebut. Fasenya adalah pandemi sendiri, vaksinasi, inflasi, pasar lowongan kerja (jobs market), dan penyusunan kebijakan baru (policy direction).

Saat ini negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, masih pada fase pandemi dan vaksinasi dengan sebaran herd imunity yang terbatas pada skala lokal. Sedangkan negara maju sudah pada tahap inflasi dan jobs market. 


Dua tahun yang lalu, fase pendemi dan vaksinasi telah di mulai. Dalam situasi di mana vaksin telah ditemukan tapi belum didistribusikan sepenuhnya dan tujuan nasional berfokus untuk mulai mengembangkan ekonomi, terdapat beberapa kebijakan yang dapat diberlakukan. Kebijakan yang diberlakukan mulai bersifat ekspansif untuk kembali menstimulus perekonomian nasional. Masa transisi ini justru menjadi masa yang krusial karena masyarakat harus siap dalam menyambut tatanan sosial ekonomi yang akan segera kembali normal. Pada masa ini, ketergantungan terhadap pemerintah perlu dikurangi dan bantuan yang diberikan pun dapat lebih berfokus pada manfaat jangka panjang.

Untuk situasi terakhir di mana vaksin telah ditemukan dan didistribusikan, sesungguhnya menjadi landasan untuk fase ketiga yakni inflasi, berfokus untuk mulai mengembangkan ekonomi, terdapat beberapa kebijakan yang dapat dijalankan. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pada situasi seperti ini perlu lebih berfokus pada tujuan jangka panjang. Perlu diingat bahwa kecepatan rebound dalam ekonomi tidak selalu sejalan dengan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi di jangka panjang. Rebound ekonomi di China yang terjadi dengan cepat tetapi penuh risiko merupakan contohnya. Rebound tersebut terjadi lantaran pemerintah meningkatkan pengeluarannya guna menstimulus perekonomian, namun tidak pengeluaran tersebut kurang memiliki manfaat jangka panjang.

Investasi pada infrastruktur yang padat karya akan memberikan banyak manfaat dalam jangka panjang. Pertama, penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang akan meningkat, memberikan sumber penghasilan jangka panjang kepada masyarakat. Kedua, manfaat dari infrastruktur yang dibangun memberikan nilai guna yang bisa dimanfaatkan masyarakat dalam jangka panjang. Ketiga, pembangunan infrastruktur dalam industri pariwisata akan  meningkatkan minat masyarakat mancanegara untuk berwisata di Indonesia. Industri pariwisata yang saat ini sedang mengalami kemunduran pun dapat segera menyambut momen kebangkitannya. 


Lalu fase ke lima adalah penciptaan lapangan kerja (jobs market) melalui Investasi pada infrastruktur yang padat karya akan memberikan banyak manfaat dalam jangka panjang. Pertama, penyerapan tenaga kerja dalam jangka panjang akan meningkat, memberikan sumber penghasilan jangka panjang kepada masyarakat. Kedua, manfaat dari infrastruktur yang dibangun memberikan nilai guna yang bisa dimanfaatkan masyarakat dalam jangka panjang. Ketiga, pembangunan infrastruktur dalam industri pariwisata akan  meningkatkan minat masyarakat mancanegara untuk berwisata di Indonesia. Industri pariwisata yang saat ini sedang mengalami kemunduran pun dapat segera menyambut momen kebangkitannya.

Hal berikutnya yang akan memberikan dampak positif bagi perekonomian bahkan kehidupan sosial masyarakat dalam jangka panjang adalah perubahan kebijakan yang adaptif pada investasi pada pendidikan. Investasi pada pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki oleh Indonesia. Peningkatan kualitas SDM akan meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di tingkat internasional. Semakin tinggi daya saing akan meningkatkan membuka kesempatan pekerjaan dan meningkatkan pemasukan masyarakat dalam jangka panjang. Inilah Recovery yang melahirkan keberdayaan masyarakat dalam bentuk inovasi ekonomi berbasis kebijakan baru yang lahir di saat endemi. Saat manusia berdamai dengan Corona.


Akhirnya saya ingat kata George Weinberg bahwa " Harapan tidak pernah meninggalkam anda, tapi kebanyakan anda yang meninggalkannya...Selamat Tahun Baru 2022 dengan penuh harapan.

 
© Copyright 2019 Tigasisi.net | AKTUAL & FAKTUAL | All Right Reserved