Minggu, 09 Januari 2022

Menimbang Aturan Modal Inti BPD di Indonesia

Menimbang Aturan Modal Inti BPD di Indonesia




Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*



Dalam dunia perbankan, modal merupakan bantalan yang memberikan perlindungan terhadap aneka potensi risiko yang melekat pada bisnis suatu institusi. Risiko tersebut akan memengaruhi keamanan dana deposito, kredit yang dikucurkan dan institusi bersangkutan.

Study Michel Crouhy, Dan Galai & Robert Mark, 2000, menyebutkan penambahan modal di suatu bank akan memberikan kepercayaan kepada deposan, pemberi pinjaman dan pemangku kepentingan.


Dengan bahasa lebih sederhana, modal bagi bank berfungsi dan bermanfaat untuk menangkis berbagai potensi risiko seperti risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional dan risiko likuiditas.


Hari ini, Penguatan modal masih menjadi tantangan bagi bank pembangunan daerah. Regulator memberi waktu bagi BPD untuk memenuhi ketentuan modal minimal hingga Rp3 triliun sampai dengan 2024.


Dengan adanya POJK ini, BPD dapat melakukan konsolidasi dengan menambah modal, terlebih dengan adanya penghapusan aturan BUKU yang diganti KBMI. Sehingga BPD bisa melakukan terobosan yang sama dilakukan oleh bank-bank Nasional.


Modal inti sangat menentukan luas dan jangkauan kegiatan usaha bank. Makin perkasa modal inti, makin luas dan jangkauan ke giatan usaha bank. Makin kecil modal akan makin terbatas jangkauan kegiatan usaha bank.


Tantangan BPD


Namun kewajiban yang dibebankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bagi kalangan bank pembangunan daerah (BPD) pemupukan modal memang bukan perkara mudah. Sebagai bank yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah, provinsi dan kabupaten/kota, proses setoran modal menggunakan alokasi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) perlu mendapat persetujuan dewan.


Artinya, ada proses politik yang harus dilalui oleh BPD untuk bisa memupuk permodalannya. Sementara itu, regulasi mewajibkan bank-bank untuk memenuhi ketentuan modal inti agar kontribusi bagi perekonomian lebih kuat.


Di Indonesia dari total 24 BPD dan 2 BPD syariah, 12 di antaranya telah memenuhi modal inti di atas Rp3 triliun, sedangkan 14 lainnya masih memerlukan perhatian khusus.

Adapun 14 BPD yang belum memenuhi modal inti, antara lain BPD Sulawesi Tengah dengan modal inti Rp1,06 triliun, BPD Bengkulu sebesar Rp1,06 triliun, BPD Lampung Rp1,11 triliun, BPD Sulawesi Tenggara Rp1,23 triliun.

Kemudian, Bank Maluku dan Maluku Utara yang memiliki modal inti sebesar Rp1,24 triliun, BPD Sulawesi Utara dan Gorontalo sebanyak Rp1,34 triliun, BPD NTB Syariah Rp1,37 triliun, lalu BPD Jambi membukukan modal inti sebesar Rp1,6 triliun.

Selanjutnya, adalah BPD NTT yang baru memenuhi modal inti sebanyak Rp1,8 triliun dan BPD Kalimantan Selatan Rp1,89 triliun.

Tiga bank lainnya telah memiliki dana inti di atas Rp2 triliun, yaitu Bank Aceh Syariah dengan modal inti sebanyak Rp2,05 triliun, BPD DIY sebanyak Rp2,33 triliun serta BPD Kalimantan Barat mencatatkan modal inti sebanyak Rp2,81 triliun. 


Kinerja BPD di Indonesia


Terlepas dari sisi permodalan, BPD di Indonesia mampu melakukan penyesuaian terhadap potensi-potensi risiko sistematis yang mungkin terjadi seperti pandemi. Sebagai lembaga yang core business-nya sangat tergantung pada kinerja seluruh industri atau entitas ekonomi. Ketika entitas tersebut memiliki persoalan cash flow akibat pandemi maka bank pun akan terkena dampak akibat peluang default dari debitur akan naik atau berpengaruh terhadap kualitas kredit.


Bank pembangunan daerah (BPD) juga mengalami dampak dari risiko sistematis tersebut. Namun ada yang menarik dari kinerja keuangan BPD, dimana turbulensi keuangan mereka tidak sebesar rata-rata industri.

Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasi Otoritas Jasa Keuangan, kinerja BPD pada 2020 tidak mengalami penurunan secara signifikan. Pada akhir tahun lalu rata-rata return on asset (ROA) BPD 2,04%, sedikit mengalami penurunan dari 2,15% pada 2019. Adapun pada 2020, rata-rata ROA bank swasta nasional 1,56% dari sebelumnya 2,11% dan bank BUMN 1,43% dari sebelumnya 2,81%.

Hal ini menunjukkan profitabilitas BPD lebih stabil dibandingkan dengan bank lainnya ketika muncul risiko sistematis seperti pandemi Covid-19. Net Interest Margin (NIM) juga menunjukkan penurunan yang tidak signifikan dari 5,95% pada 2019 menjadi 5,72% pada tahun berikutnya.

Dari sisi efisiensi, BPD memiliki biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO) yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan bank BUMN dan swasta nasional. Pada masa pandemi, BOPO BPD (80,6%) relatif lebih rendah dibandingkan dengan bank swasta nasional (84,66%) dan bank BUMN (86,62%).

Keunggulan BPD 


Keunggulan dari BPD adalah area operasional yang tidak terlalu luas seperti bank nasional lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Alhasil, BPD mampu mengontrol dan mengawasi kondisi yang berpotensi menyebabkan terjadinya turbelensi kinerja dengan lebih mudah. Dengan pasar yang cenderung homogen, eksposur risiko pasar lebih mudah diidentifikasi dan dikelola.

Artinya BPD memiliki keunggulan berupa kedekatan kultural dengan pasarnya, yang bisa menjadi competitive advantage mereka.

Namun keunggulan ini bisa juga menjadi kelemahan bagi BPD sendiri karena diversifikasi bisnis bank yang relatif sempit, sehingga sulit melakukan ekspansi ketika pasarnya hanya di beberapa provinsi. Ujung-ujungnya bisa menimbulkan kejenuhan pasar.

Selain itu, keunggulan lainnya adalah sumber daya BPD yang cenderung homogen, sehingga relatif lebih mudah bagi manajemen perusahaan dalam penerapan budaya organisasi tertentu. Dalam prakteknya, cenderung budaya organisasi BPD dipengaruhi oleh budaya lokal yang relatif homogen.

Namun, BPD dihadapkan pada tantangan digitalisasi yang menjadi penarik utama Industri 4.0. Kategori bank ini akan berhadapan dengan pesaing, baik dari bank nasional maupun tekfin yang mengandalkan teknologi informasi dalam kegiatan bisnis mereka.

Kehadiran konsep branchless banking dalam industri perbankan tentunya memberikan kemudahan bagi pesaing untuk masuk ke pasar lokal tanpa harus memiliki kantor cabang di suatu daerah.

Tentu saja BPD harus menjawab tantangan digitalisasi ini, masalahnya layanan digitalisasi membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Untuk itulah penambahan modal menjadi penting untuk dilakukan.


Langkah dan Upaya


Untuk memenangi persaingan yang ketat di industri perbankan, dan mengejar target menjadi bank terkemuka (regional champion) di tahun 2024 nanti, bank milik pemerintah daerah harus memprioritaskan upaya penguatan modal. 


Pemerintah daerah sebagai pemegang saham harus menggaris bawahi agenda penguatan modal ini sebagai prioritas penting BPD saat ini dan di masa mendatang.


Setidaknya ada empat strategi penguatan modal yang bisa ditempuh oleh BPD. Pertama, melalui suntikan modal dari pemegang saham yakni pemerintah daerah. Kedua, memanfaatkan pasar saham untuk mengail modal melalui initial public offering (IPO) atau penjualan saham ke publik. Ketiga, mengurangi porsi setoran dividen ke pemegang saham (dividen payout). Terakhir, penerbitan obligasi senior maupun junior dan langkah merger-akuisisi.


Selain itu ada beberapa kiat bagi bank untuk menambah modal. Katakanlah, bank dapat melakukan peningkatan pertumbuhan laba, laba ditahan (retained earnings). Apapun caranya, penambahan modal inti BPD adalah satu keharusan. Dan ini harus menjadi kesadaran, khususnya pemerintah daerah dan DPRD.



* Pengamat Perbankan

Read other related articles

Also read other articles

© Copyright 2019 Tigasisi.net | AKTUAL & FAKTUAL | All Right Reserved